AkhlakKajian Tarjih

Hak-Hak Anak

#tangletTarjihKlaten

Gqmbar: Pengajian Tarjih di PCM Kalikotes

Hak berkenaan dengan kesipilan

      Hak sipil yang dimaksud adalah hak keperdataan anak yang mencakup nasab dan identitas, hak berbicara, hak mendapatkan dan memiliki harta yang meliputi waris, nafkah, hibah, dan wasiat.

  1. Nasab dan Identitas

      Setiap anak yang lahir berhak mendapatkan kejelasan nasab. Anak yang lahir dari pernikahan yang sah maka nasabnya adalah kepada bapaknya, kecuali jika anak lahir dari perzinahan maka nasabnya kepada ibunya. Demikian juga anak yang sejak lahir dirawat dan dibesarkan oleh orang tua angkat (diadopsi) juga berhak mendapat kejelasan nasabnya, sehingga islam melarang untuk menghubungkan nasab anak angkat kepada orangtua angkatnya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيل. ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا.

        Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab (33): 4-5)

  1. Hak Berbicara

      Dalam Islam ajaran tentang hak anak dalam mengajukan pendapat telah diajarkan oleh nabi Ibrahim ketika mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail, sebagaimana dalam surah Ash-Shaffat (37) ayat 102,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى‏ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى‏ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُني‏ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرينَ

  Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. ash-Shaffāt 37: 102).

      Ayat di atas menunjukkan, meskipun dalam hal ketaatan kepada Allah yang merupakan kewajiban utama seorang hamba, namun tetap anak mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya. Dalam ibadah saja pendapat anak tidak boleh ditinggalkan, apalagi dalam urusan selain ibadah.

  1. Hak Mendapatkan dan Memiliki Harta

      Hak mendapatkan dan memiliki harta dalam Islam sejak fikih klasik telah diwujudkan dalam beberapa macam bentuk. Diantaranya, bisa berbentuk waris, wasiat, maupun hibah. Adapun kewarisan dalam hal ini bermakna perlindungan terhadap hak anak untuk mendapatkan warisan dalam porsi yang adil. Islam juga telah mmberikan hak-hak waris untuk anak. Isyarat ini ada dalam surah an-Nisa’ (4): 7-8,

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا  (7)  وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفًا (8)

        “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”

      Begitu pula dengan wasiat dan hibah di mana keduanya juga bagian dari hak kepemilikan harta orang tua untuk anak. Dalam fatwa Muhammadiyah, hibah dan wasiat hakikatnya menjadi alternatif untuk memberikan hak harta kepada anak. Sebab dalam beberapa kasus, anak tidak mendapatkan bagian harta yang mencukupi untuk kehidupannya, atau bisa juga anak tersebut terhalang untuk mendapat warisan karena dia non muslim.

     Dengan demikian, maka selain melalui warisan, orang tua juga bisa memberikan anak harta melebihi hibah. Hibah dalam pengertiannya adalah menyerahkan hak kebendaan yang berlakunya sewaktu si pemberi masih hidup. Dalam konteks hibah ini, tidak ditemukan larangan seorang muslim menyerahkan hartanya kepada yang bukan muslim. Adapun mengenai besarannya, maka itu ditentukan orang tua sendiri dengan asas keadilan.

     Alternatif lain di dalam memberikan hak harta kepada anak adalah wasiat, yaitu menyerahkan sebagian hak kebendaan yang berlakunya setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Wasiat juga bisa diberikan kepada anak yang tidak beragama Islam sebagaimana hibah. Namun perbedaannya, wasiat tidak bisa diberikan kepada anak yang telah menjadi ahli waris.

     Perbedaan wasiat dengan hibah juga terdapat pada besarannya. Jika hibah tidak ditentukan secara jelas besaranya, maka wasiat besaran maksimalnya adalah sepertiga dari harta peninggalan. Hal ini berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Amr bin Sa’ad,

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: عَادَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ حَجَّةِ الوَدَاعِ مِنْ مَرَضٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَلَغَ بِي مِنَ الوَجَعِ مَا تَرَى، وَأَنَا ذُو مَالٍ، وَلاَ يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: «لاَ»، قَالَ: فَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ؟ قَالَ: «الثُّلُثُ يَا سَعْدُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ ذُرِّيَّتَكَ أَغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ

        Dari Amir bin Sa’d bin Malik dari ayahnya ia berkata :  “Nabi saw datang menjengukku pada tahun haji wadda sewaktu saya menderita sakit yang akhirnya menjadi sebab kematian, lalu aku berkata : Wahai Rasulullah, sungguh aku telah merasakan demam yang tinggi sebagaimana yang engkau lihat, saya mempunyai banyak harta sementara tidak ada yang akan mewarisi saya kecuali seorang anak perempuan saya, apakah sebaiknya saya bersedekah sebanyak dua pertiga dari harta saya? Rasul menjawab: Tidak, apakah boleh bersedekah dengan separo hartaku ? Beliau menjawab :  sepertiga saja hai Sa’ad, karena sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” [HR Bukhari, hadits no : 3936]

     Dalam fatwa Muhammadiyah diberikan tambahan penjelasan bahwa wasiat bisa lebih dari sepertiga apabila telah melalui kesepakatan seluruh ahli waris. Bagian wasiat ini juga baru bisa ditunaikan setelah diselesaikannya seluruh biaya yang berkaitan dengan perawatan jenazah.

  1. HAK PERLINDUNGAN
  2. Hak Mendapatkan Perlakuan yang Adil

      Perilaku adil kepada anak merupakan sikap yang sangat penting yang perlu diterapkan, karena ketidakadilan terhadap anak berpengaruh pada buruknya pertumbuhan anak-anak. Perlakuan adil ini meliputi hal-hal yang bersifat materiil, misalnya pembagian nafkah dan immaterial seperti kasih sayang dan perhatian. Imam Al-Bukhari meriwayatkan sabda Rasulullah berikut dalam salah satu judul bab kitab sahihnya, Nabi bersabda,

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ فِي العَطِيَّةِ

      Dan Nabi SAW bersabda : “Berlaku adilah dalam pemberian mu kepada anak-anakmu.” [Bab 12. Hibah Untuk anak, halaman 771]

  1. Hak Merasa Aman

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ.

         Dari Abi Qatadah dari  Nabi saw bersabda  :  “Suatu ketika

aku shalat dan ingin memperlama shalat, tiba-tiba aku mendengar tangisan anak. Akupun mempercepat shalat karena aku tidak mau memberatkan ibunya” [HR Bukhari, hadits no : 707]

  1. Hak Pengasuhan (Hadlonah).

      Bahwa setiap anak sejak lahir berhak mendapatkan perlindungan untuk dibesarkan mulai dari disusui, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tuanya sampai dewasa serta mampu mandiri sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

      Hak pengasuhan “hadlonah” hadist dari Abdullah bin Amr mewartakan, ada seorang wanita mengadukan permasalahannya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah anakku,  perutkulah yang mengandungnya, buaiankulah yang telah melindunginya, dan air susuku pula yang menjadi minumannya. Tetapi saat ini bapaknyalah memisahkan ia dariku. Maka beliau bersabda: “kamu yang berhak atas anakmu itu, selagi kamu belum menikah dengan laki-laki lain.” [HR Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim]

  1. Hak Perlindungan dalam Pernikahan Anak

      Pernikahan merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan. Hal ini karena, pergaulan antara laki-laki dengan perempuan akan sah dan terhormat jika telah melalui jalan pernikahan. Disebutkan secara jelas di dalam al Quran perintah menikah,

    وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

        “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS An-Nur (24): 32]

      Dalam urusan pernikahan, hakikatnya semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menentukan pernikahan dan pasangan yang dinikahi. Sebab asas demokratis menentang adanya paksaan dalam pernikahan. Rasulullah SAW juga mengisyaratkan dengan jelas tentang hak ini. Dalam satu kasus Rasululah menerima pengaduan seorang gadis yang mengaku dipaksa menikah oleh ayahnya hanya karena ingin mengangkat derajat keluarganya. Sebagaimana dalam hadist, dari anak Buraidah, dari Buraidah ra, ia berkata:

      عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عن أَبِيهِ قَالَ: جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَقَالَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ    رواه ابن ماجه : 1874

        Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya ia berkata : Seorang gadis datang kepada Nabi SAW lalu mengadukan ayahnya: Ayahku mengawinkanku dengan seorang laki-laki anak saudaranya dengan tujuan mengangkat derajat martabatnya”. Rasulullah SAW menyerahkan keputusan kepada gadis itu. Si gadis lalu berkata “aku telah menerima apa yang dilakukan ayahku, namun demikian telah aku tunjukkan sebagai pelajaran untuk perempuan bahwa dalam perkara ini ayah tidak memiliki urusan apa-apa” [HR Ibnu Majah, no 1874]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button