Hukum Menyembelih Qurban Untuk Isteri Yang Telah Meninggal
Pertanyaan:
Dapatkah seorang suami membayar qurban isterinya yang telah meninggal dunia? Kalau tidak dapat, bagaimana caranya menurut tuntunan agama Islam? Mohon penjelasan disertai dengan dalilnya. (Mas’ud E. Sutan, Pulau Panjang, Sawahlunto, Sumatera Barat).
Jawaban:
Pertanyaan saudara tersebut di atas masih perlu mendapat penjelasan, sebab pertanyaan itu masih bersifat umum. Pertanyaan itu bisa berkaitan dengan membayar qurban yang telah dinadzarkan oleh seorang isteri dan bisa juga berkaitan dengan membayar qurban yang bukan nadzar tetapi qurban biasa sebagaimana dilakukan oleh orang-orang pada umumnya.
Membayar qurban yang dinadzarkan oleh seorang isteri itu misalnya, seorang isteri pada saat masih hidup bernadzar akan menyembelih qurban, akan tetapi sebelum qurban itu ditunaikan ia sudah terlebih dahulu meninggal dunia. Membayar qurban biasa misalnya seorang isteri berniat untuk menunaikan qurban, yakni menyembelih seekor kambing, namun sebelum niatnya itu dilakukan ia sudah terlebih dahulu menginggal dunia.
Apabila yang dimaksudkan dalam pertanyaan saudara itu adalah membayar qurban yang merupakan nadzar dari seorang isteri tersebut. Jika ia tidak mempunyai harta peninggalan atau hartanya yang ditinggalkan tidak cukup untuk menunaikan qurban tersebut, maka tidak diharuskan untuk menunaikan qurban tersebut.
Perlu saudara ketahui bahwa nadzar itu apabila belum ditunaikan sama saja dengan hutang yang belum dibayar. Jika hutang itu harus dibayar dan pembayaran hutang itu diambil dari harta yang ditinggalkannya, maka demikian pula halnya dengan nadzar. Mempersamakan nadzar dengan hutang ini didasarkan pada Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh al- Bukhari dari Ibnu ‘Abbas:
عن ابن عباس رَضِيَ الله عَنْهُ أنّ امْرَأَةً جاءَتْ إلى النبيِّ ﷺ، فقالَتْ: إنّ أُمِّي نَذَرَتْ أنْ تَحُجَّ فَماتَتْ قَبْلَ أنْ تَحُجَّ، أفَأَحُجَّ عَنْها؟ قالَ: نَعَمْ، حُجِّي عَنْها، أرَأَيْتِ لو كانَ على أُمِّكِ دَيْنٌ أكُنْتِ قاضِيَتَهُ؟، قالَتْ: نَعَمْ، فقالَ: اقْضُوا اللهَ الذي له، فإنّ اللهَ أحَقُّ بالوَفاءِ
Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas ra.: Sesungguhnya seorang perempuan datang kepada Nabi saw seraya berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan baji, tetapi sebelum sempat menunaikan nadzar hajinya itu, ia terlebih dahulu meninggal dunia. Apakah saya harus menunaikan haji itu untuknya?” Nabi saw menjawab: “Ya, kerjakanlah haji itu untuk ibumu. Bukankah kalau ibumu mempunyai hutang engkan wajib membayarnya? Tunaikan hak-hak Allah sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditunaikan hak-hak-Nya” (HR. Bukhari dari Ibnu ‘Abbas), (lihat: Shahih al-Bukhari. Juz III: 22-23).
Hadits tersebut dengan tegas mempersamakan nadzar dengan hutang dari segi keduanya sama-sama harus dibayar, bahkan nadzar itu adalah merupakan hutang kepada Allah yang pemenuhannya harus lebih diutamakan. Mengenai hal yang sama terdapat pula dalam Hadits-Hadits yang lain, misalnya Hadits riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَكِبَتْ امْرَأَةٌ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَصُومَ فَأَتَتْ أُخْتُهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَأَمَرَهَا أَنْ تَصُومَ عَنْهَا
Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Seorang perempuan berlayar di laut, lalu ia bernadzar akan menunaikan puasa sebulan, kemudian ia meninggal dunia sebelum menunaikan puasa itu. Saudara perempuan dari perempuan yang meninggal itu datang menghadap Nabi saw dan memberitahukan kejadian itu kepada Nabi saw, kemudian Nabi saw memerintahkan kepada saudara perempuan dari perempuan yang meninggal dunia itu untuk menunaikan puasa untuk perempuan yang meninggal dunia itu. (HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas) Musnad Ahmad. Juz V: 3138 Hadits nomor 3137).
Hadits yang lebih umum lagi yang menjelaskan hal yang sama adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ اسْتَفْتَى سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ الْأَنْصَارِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَذْرٍ كَانَ عَلَى أُمِّهِ تُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ عَنْهَا
Artinya: Dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya Sa’ad bin Ubadah telah meminta fatwa kepada Rasulullah san, nadzar ibunya yang telah meninggal dan belum sempat ditunaikannya. Rasulullah saw menjawab (memberi fatwa) “Tunaikanlah nadzar itu untuk ibumu” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas). (Sunan Ibnu Majah, I:688, Hadits nomor 2132).
Berdasarkan Hadits-Hadits tersebut di atas, jelaslah bahwa nadzar yang belum sempat ditunaikan karena terlebih dahulu meninggal dunia, harus ditunaikan oleh keluarganya. Demikian pula halnya dengan pertanyaan yang saudara penanya kemukakan. Jika qurban itu merupakan nadzar dari seorang isteri yang saudara penanya kemukakan, maka qurban itu harus ditunaikan oleh keluarganya atau suaminya dengan mengambil harta peninggalan isteri tersebut.
Untuk melengkapi jawaban ini perlu juga kami kemukakan mengenai pembagian nadzar ditinjau dari segi harus ditunaikan/dilaksanakan atau tidaknya, atau dengan kata lain nadzar yang sah dan nadzar yang tidak sah. Dari segi ini, nadzar itu ada dua macam, yaitu pertama, nadzar untuk berbuat kebajikan atau melaksanakan hal yang baik yang diperintahkan oleh Allah. Kedua, nadzar untuk berbuat kejahatan atau melaksanakan hal yang tidak baik yang dilarang oleh Allah, atau juga hal-hal yang sangat memberatkan, menimbulkan kemadharatan.
Bernadzar untuk berbuat kebajikan, menaati Allah atau menunaikan perintah Allah, harus dilaksanakan, artinya nadzar tersebut hukumnya sah. Sebaliknya, nadzar untuk mengerjakan maksiat melakukan perbuatan yang dilarang Allah harus ditinggalkan atau tidak boleh dilaksanakan: artinya nadzar tersebut hukumnya tidak sah. Demikian ini didasarkan pada Hadits Nabi saw riwayat al-Bukhari dari Siti ‘Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
Artinya: ‘Aisyah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Barangsiapa bernadzar akan menaati Allah (menunaikan yang baik yang diperintahkan oleh Allah) bendaklah ia tunaikan, dan barangsiapa bernadzar akan mengerjakan maksiat (perbuatan buruk yang dilarang oleh Allah) maka janganlah ia kerjakan. (HR. al-Bukhari dari ‘Aisyah). (Shabib al-Bukhari, Juz VIII: 177; Bandingkan Sunan Ibnu Majah, I: 687, Hadits nomor 2126).
Hadits di atas dengan jelas menjelaskan bahwa nadzar yang baik harus dilaksanakan sedang nadzar yang buruk tidak boleh dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan masalah yang ditanyakan oleh penanya, yaitu qurban, maka kalau itu merupakan nadzar, maka ia termasuk nadzar yang baik yang harus dilaksanakan.
Apabila qurban yang ditanyakan itu bukan qurban yang dinadzarkan oleh seorang isteri tersebut, maka hal itu tidak perlu dibayar/ditunaikan. Jika seseorang telah berniat/bermaksud akan menunaikan qurban, tetapi ia tidak menadzarkannya, atau akan melakukan sesuatu kebajikan kemudian ia meninggal dunia sebelum menunaikan qurban atau kebajikan yang diniatkannya itu, maka orang itu tidak dituntut lagi untuk menunaikan qurban atau perbuatan kebajikan tersebut. Demikian pula keluarga atau ahli warisnya tidak dituntut untuk menunaikan qurban atau perbuatan kebajikan itu sebagai gantinya.
Dengan demikian, jika yang saudara penanya maksud itu membayar qurban yang bukan nadzar (bukan dimaksudkan sebagai nadzar oleh isteri tersebut), melainkan hanya membayar qurban yang biasa sebagai suatu amal kebajikan, maka suaminya atau keluarganya tidak diharuskan untuk membayarnya.