Macam-macam Jual-beli yang Dilarang
Pendahuluan
Manusia diciptakan di dunia ini dengan misi tunduk kepada Allah dan semata-mata beribadah kepada-Nya, taat dan patuh kepada-Nya, dalam setiap gerak dan diam, sendiri maupun bersama-sama. Maka, setiap aktifitas yang dilakukan dalam kehidupan harus mencerminkan ketundukan kepada Allah dan kepatuhan pada syariat-Nya. Bila tidak, berarti ia keluar dari misi ubudiyah ini.
Perintah untuk senantiasa beribadah pada Allah seiring tarikan dan hembusan nafas, di setiap gerak dan diam, memberi pengertian bahwa ibadah memiliki makna yang sangat luas. Tidak terbatas pada aktifitas ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat, puasa, haji, berdzikir, baca al Qur’an dan semacamnya. Lebih dari itu, makna ibadah dalam Islam merambah pada aktifitas-aktifitas keseharian seperti bekerja, berolah raga, makan, tidur, jual beli dan semacamnya dengan syarat semuanya dilaksanakan karena Allah dan tidak melanggar syariat Allah.
Terkhusus aktifitas jual beli Islam memberikan perhatian yang sangat besar baik sebagai bentuk motifasi maupun peringatan. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. menegaskan bahwa hasil yang diperoleh dari jual beli yang baik (mabrur) merupakan hasil pekerjaan yang paling bagus.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: “عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ.”
Dari Rafi’ bin Khadij menuturkan, ditanyakan “Wahai Rasulullah, hasil pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “(Hasil) pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. HR. Ahmad no. 17265, Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, “Hadits hasan lighairih”. Maksud bai’ mabrur dalam hadits ini adalah jual beli yang tidak disertai tipuan dan pengkhianatan.
Pun, seorang pedagang yang amanah lagi jujur akan bersama para syuhada’ di akhirat kelak.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “التَّاجِرُ الْأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ، مَعَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ”
Dari Ibnu Umar ra. menuturkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang pedagang yang amanah, jujur lagi muslim bersama para syuhada’ di hari kiamat.” HR. Ibnu Majah no.2139. Al Albani menshahihkan hadits ini di dalam kitab Shahihut Targhib wat Tarhib, ia berkata, “Hasan Shahih”.
Macam-macam jual-beli yang dilarang
Telah dimaklumi, Islam mensyariatkan jual beli sebagai cara tukar menukar barang dan manfaat di antara manusia berdasarkan al Qur’an dan Sunah. Allah berfirman, “…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” QS. al Baqarah [2] :275. Banyak hadits yang menunjukkan kebolehan jual beli, seperti hadits yang telah disebutkan dalam mukadimah. Maka, di antara kaidah yang diakui para ulama adalah prinsip dasar dalam mu’amalah dan jual beli adalah halal dan boleh sampai ada dalil syar’i yang menunjukkan larangannya.
Namun, kendati secara prinsip jual beli itu dibolehkan sampai ditemukan larangannya dari dalil syar’i, Allah telah mengharamkan beberapa bentuk jual beli yang berpotensi memunculkan permusuhan dan kebencian di antara manusia. Baik karena ada unsur gharar (ketidak pastian), tadlis (tipuan), riba, dusta, keharaman, kepemilikan yang tidak sempurna dan semacamnya. Berikut ini beberapa jenis jual beli yang diharamkan syariat berdasarkan dalil syar’i
- Menjual barang sebelum diserah terimakan dan sebelum dipindah dari tempat penjual
Bilamana seseorang membeli suatu barang dan ia ingin menjualnya kembali maka ia wajib memindahkan barang tersebut dari tempat membeli, kemudian baru menjualnya. Ini untuk memenuhi syarat kepemilikan sempurna dalam jual beli dan sebagai bukti berpindahnya tanggung jawab barang kepada pembali yang menjadi syarat kehalalan keuntungan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ»، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ»
Dari Ibnu Abbas menuturkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa membeli makanan maka janganlah ia menjualnya sampai menerimanya (terlebih dulu).” Ibnu Abbas berkata, “Aku meyakini segala sesuatu seperti makanan (terkait kewajiban serah terima dahulu sebelum dijual kembali).” HR. Muslim no.1525
Qabdh atau serah terima ini teralisasi dengan memindahkan barang dari tempat penjual ke tempat pembali atau tempat lain.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ، فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي، لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا، فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ، فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ، فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، فَقَالَ: لَا تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ، حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ، «فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ، حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ»
Dari Ibnu Umar menuturkan, “Aku membeli minyak di pasar. Manakala aku telah memilikinya untuk diriku, seseorang menemuiku lalu memberiku keuntungan yang baik dengan menjualnya. Aku ingin menyepakati jual beli dengannnya, namun seseorang dari belakangku meraih tanganku hingga aku menoleh. Ternyata Zaid bin Tsabit. Ia berkata, “Jangan menjualnya di tempat engkau membeli, sebelum engkau memindahkannya ke kendaraanmu. Karena sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang barang-barang dijual di tempat dibeli, sebelum para penjual membawanya ke kendaraan mereka.” HR. Abu Dawud no.3499, hadits hasan.
Juga, karena barang yang belum dipindah dari penjual belum menjadi tanggung jawab pembeli maka pembeli dilarang menjual dan mencarikan keuntungannya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
Dari Abdullah bin Amru menuturkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak halal hutang (dengan syarat) jual beli, tidak pula dua syarat dalam satu jual beli, keuntungan barang yang belum engkau tanggung dan tidak halal pula menjual apa yang tidak engkau miliki.” HR. Abu Dawud no.3504, hasan shahih.
Dalam menjelaskan “tidak halal pula keuntungan barang yang belum engkau tanggung” Khathabi mengatakan “Maksudnya seseorang menjual barang yang telah ia beli kepada orang lain sedangkan ia sendiri belum menerima barang tersebut. Jadi barang itu masih dalam tanggungan penjual pertama, bukan dalam tanggungannya. Nah, barang seperti ini belum boleh dijual sebelum diterima (pembeli) agar berada di dalam tanggungannya terlebih dahulu.” –sebagaimana dikutip Syaikh al Arnauth dalam tahqiqnya pada Sunan Abu Dawud j.5, h.365
Catatan: Apabila pembeli memindahkan barang ke tempat lain di luar kewenangan penjual maka jual beli telah sah dan barang boleh dijual kembali. Dasarnya sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: “كُنَّا فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبْتَاعُ الطَّعَامَ، فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِي ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ، قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ يَعْنِي جُزَافًا.”
Dari Ibnu Umar ra. bahwa ia mengatakan, “Kami dahulu, di zaman Rasulullah Saw. membeli makanan. Lalu beliau mengutus kepada kami orang yang memerintah kami memindahkannya dari tempat di mana kami membelinya ke tempat lainnya, sebelum kami menjualnya, yakni secara borongan.” HR. Muslim no.1527 dan Abu Dawud no.3493 dengan redaksi di atas. Hadis shahih.
Contoh kasus:
- Seseorang membeli motor second di dealer dan telah terjadi transaksi jual beli antara ia dan dealer namun motor belum dipindah ke tempat lain. Lalu orang ini menjual motor tersebut kepada orang lain yang langsung mengambilnya ke dealer. Jual beli kedua ini tidak diperbolehkan dan keuntungan yang didapat tidak halal. Artinya, harus ada pembatalan jual beli terlebih dahulu untuk kemudian barang dipindahkan dan baru ditransaksikan.
- Seseorang membeli buah durian yang masih ada di pohon (tebasan) saat buah durian tersebut telah layak dikonsumsi. Ia tidak memetiknya, tapi menjualnya ke orang lain untuk mencari keuntungan. Kemudian pembeli kedua yang memetik buah durian dari pohonnya. Jual beli kedua ini juga tidak sah dan keuntungan yang diperoleh tidak halal.
Sedang cara yang tepat adalah, pembeli pertama memetik dahulu buah durian dari pohonnya kemudian menjualnya kepada orang lain. Cara ini juga berlaku pada tebasan padi, jagung dan semacamnya.
- Menjual sesuatu yang tidak dimiliki
Gambarannya adalah seseorang datang pada penjual dengan tujuan membeli barang tertentu darinya padahal barang yang dinginkannya ini masih dimiliki orang lain. Lalu keduanya menyepakati harga penjualan barang tersebut baik dibayar cash di muka atau dikredit. Selanjutnya penjual membeli barang yang diinginkan pembeli dan kemudian menyerahkannya kepadanya sesuai harga yang telah disepakati. Model jual beli ini tidak boleh; karena mengandung gharar (ketidak pastian) yang muncul dari ketidak mampuan menyerahkan barang tertentu tersebut, yang berpotensi mengakibatkan perselisihan. Sebab bisa jadi penjual tidak sanggup mendapatkan barang yang diinginkan itu sementara pembeli menuntutnya karena transaksi telah terjadi, sehingga muncullah perselisihan di antara keduanya.
Larangan ini berdasarkan riwayat Abu Dawud dari Abdullah bin Amru yang telah disebutkan di atas (hadits no.3504). Juga hadits berikut:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي الْبَيْعَ وَلَيْسَ عِنْدِي، أَفَأَبِيعُهُ؟ قَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
Dari Hakim bin Hizam menuturkan, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, seseorang memintaku menjual (sesuatu) padahal barang itu tidak aku miliki, bolehkan aku menjualnya kepadanya?” Beliau menjawab, “Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki.” HR. Abu Dawud no.3503, Turmudzi no.1232, Nasai no.4613 dan Ibnu Majah no.2187. Hadits shahih.
Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Mundzir mengatakan, “Menjual apa yang tidak engkau miliki mengandung dua pengertian; pertama, penjual mengatakan “aku menjual padamu budak atau rumah tertentu,” padahal budak dan rumah ini tidak ada di tempat. Sehingga hal ini menyerupai jual beli gharar karena terbuka kemungkinan barang tersebut lenyap atau pembeli tidak menyukainya (saat melihatnya). Kedua, penjual mengatakan “Rumah ini seharga sekian dengan syarat aku membelikannya terlebih dahulu untukmu dari pemiliknya atau pemiliknya menyerahkannya padamu.” Ibnu Hajar berkomentar, “Kisah hakim sesuai kemungkinan kedua.” (Fathul Bari, j.4, h.349, cet. Darul Ma`rifah – Bairut).
Agar terhindar dari larangan menjual barang yang belum dimiliki, penjual harus membeli terlebih dahulu barang yang diinginkan calon pembeli dan memindahkannya dari tempat penjual, kemudian baru menjualnya kepada pembeli dengan harga yang disepakati. Penjual dan calon pembeli dibolehkan merundingkan perkiraan harga jual barang, namun belum boleh terjadi deal atau transaksi terhadap barang tersebut sebelum benar-benar dimiliki penjual.
Beda larangan menjual sesuatu yang tidak dimiliki dan jual beli salam yang dibolehkan
Jual beli salam adalah menjual sesuatu yang belum ada dengan disebutkan ciri-cirinya atau spesifikasinya, dan pembayaran kontan di muka. (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, j.3 h.121, cet. Darul Kitabil ‘Arabi, Bairut – Lebanon). Jual beli (bai’) salam ini dibolehkan berdasarkan al Qur’an, Sunah dan kesepakatan mayoritas ulama.
Sepintas terdapat kesamaan antara menjual sesuatu yang tidak dimiliki dan bai’ salam, yakni dalam kedua jenis jual beli ini barang tidak ada atau belum dimiliki. Namun larangan menjual sesuatu yang belum dimiliki dilatar belakangi obyek akad berupa barang tertentu yang masih menjadi milik orang lain sehingga menimbulkan ketidak pastian (gharar) akan kemampauan penjual menyerahkan barang tersebut. Sementara dalam jual beli salam, barang yang menjadi obyek akad adalah barang yang disebutkan ciri-cirinya yang telah disepakati antara penjual dan pembeli, serta dimungkinkan barang tersebut ada di waktu yang telah ditentukan. Tambahan lagi, sebagian ulama mengatakan pembolehan bai’ salam adalah pengecualian dari larangan menjual barang yang tidak ada.
Khathabi mengatakan, “Sabda Nabi Saw. “jangan menjual apa yang tidak engkau miliki” maksudnya adalah jual beli barang, bukan (barang) dengan menyebutkan ciri-cirinya. Anda tahu bahwa beliau membolehkan bai’ salam hingga tempo tertentu, padahal bai’ salam ini sama dengan menjual sesuatu yang tidak dimiliki penjual di saat terjadi akad. Beliau melarang menjual barang yang tidak dimiliki penjual semata-mata karena ada gharar (ketidak pastian). Contohnya seseorang menjual budaknya yang lari atau ontanya yang terlepas. Masuk dalam larangan ini segala sesuatu yang tidak bisa dijamin, contohnya seseorang membeli barang lalu menjualnya sebelum menerima barang tersebut. Termasuk juga dalam larangan ini seseorang menjual harta orang lain yang keabsahannya bergantung pada izin pemilik; karena ia membeli sesuatu yang tidak dimilikinya, dan ini gharar. Pasalnya ia tidak tahu apakah pemilik barang tersebut mengizinkan jual belinya atau tidak. Wallahu a’lam.” Selesai. (Sunan Abi Dawud tahqiq Syaikh al Arnauth, j.5 h.363, cet. Darur Risalatil ‘Alamiyyah.